NTB Dorong Pengelolaan Perikanan Gurita yang Berkelanjutan di Selat Alas

Seorang perempuan menjual gurita bakar di Pasar Renteng, Praya, Lombok Tengah, NTB, Senin (15/10). Gurita bakar yang didatangkan dari Tanjung Luar tersebut dijual Rp6 ribu per tusuk. (Ist)

NASIONAL – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terus mendorong pengelolaan perikanan gurita yang berkelanjutan, khususnya di wilayah Selat Alas yang membentang antara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, Muslim, menekankan bahwa penguatan tata kelola sektor perikanan harus berjalan seiring dengan perlindungan ekosistem laut dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.

“Langkah itu adalah bagian penting dari penguatan tata kelola perikanan, tidak hanya memikirkan hasil laut, tetapi juga dampak terhadap ekosistem dan kesejahteraan masyarakat pesisir,” ujar Muslim di Mataram, Rabu.

Muslim juga menyebut bahwa pihaknya ingin membangun pondasi agromaritim yang kokoh melalui pendekatan ekonomi biru dan peningkatan produksi perikanan berkelanjutan.

Data menunjukkan tren peningkatan produksi gurita di wilayah tersebut. Pada tahun 2019, produksi gurita tercatat sebesar 589.862 kilogram. Meski sempat turun drastis menjadi 227.910 kilogram pada 2020 akibat pandemi COVID-19, angka tersebut kembali meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Produksi naik menjadi 407.639 kilogram pada 2021, 576.453 kilogram pada 2022, dan melonjak 36,57 persen menjadi 908.850 kilogram pada 2023.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Program Studi Budidaya Perairan Universitas Mataram mengungkap bahwa spesies gurita Octopus cyanea merupakan hasil tangkapan dominan di Selat Alas. Penelitian yang berlangsung dari April hingga Juli 2023 itu juga menyebut bahwa gurita betina memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan gurita jantan.

Di Kecamatan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat, kelompok nelayan yang tergabung dalam Persaudaraan Nelayan Gurita (Pelita) menerapkan praktik konservasi dengan menutup sementara area tangkapan gurita selama tiga bulan. Tujuannya adalah untuk memberi waktu gurita berkembang biak dan tumbuh besar.

Praktik ini dilakukan secara bergiliran: Pulau Paserang ditutup pada 2021, disusul Pulau Madiki pada 2022, dan Pulau Kambing pada 2023. Selama masa penutupan, nelayan hanya diperbolehkan menangkap ikan dan kerang, sedangkan panen gurita baru dimulai setelah masa tiga bulan dan berlangsung selama sekitar 20 hari.

Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Syahril Abd, juga menegaskan pentingnya penerapan ecolabelling pada komoditas gurita agar dapat bersaing di pasar global.

“Ecolabelling adalah langkah strategis untuk meningkatkan daya saing komoditas gurita di pasar global serta mendorong pengelolaan perikanan gurita yang berkelanjutan,” ujar Syahril.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *